Fast Fashion (1): Fakta Mengerikan di balik Industri Pakaian Jadi

Fast Fashion (1): Fakta Mengerikan di balik Industri Pakaian Jadi

Pada abad keduapuluh satu ini, sebagian dari kita, manusia modern baik perempuan maupun laki-laki, mengalami kesulitan untuk menahan diri ketika dihadapkan pada godaan berupa deretan pakaian baru dengan mode terkini yang dipajang di etalase pertokoan yang memang sengaja dibuat untuk menarik perhatian siapa saja yang melihatnya.

Namun sebelum Anda menuju ke mall terdekat atau gerai pakaian paling elit di pusat kota untuk memuaskan hasrat Anda, sebaiknya luangkan waktu sebentar untuk memikirkan dampak lingkungan yang dihasilkan dari perkembangan industri pakaian jadi yang demikian pesat, seperti namanya: Fast Fashion.

Fast fashion mulai berkembang tahun 1990-an, ketika para pelaku industri pakaian jadi dituntut untuk menghasilkan keuntungan besar dalam waktu singkat, karena jaringan toko-toko besar mulai ikut dalam persaingan tersebut dengan memproduksi sendiri pakaian murah yang modelnya selalu mengikuti trend mode terbaru. 

Untuk menyiasatinya, para pelaku bisnis pakaian jadi memutuskan untuk menaikkan minat konsumen dengan menawarkan jumlah koleksi yang lebih banyak. Fokus dari fast fashion adalah bagaimana menghasilkan barang dengan biaya serendah mungkin namun mampu menanggapi permintaan konsumen yang berubah dengan cepat; dengan asumsi bahwa konsumen menginginkan pakaian dengan mode terbaru dengan harga terjangkau. 

Hal ini sangat mungkin terjadi, karena mereka membagi rantai pasokan barang dengan cerdik. Beberapa item pakaian dasar diproduksi di negara berkembang (yang upah buruhnya murah), sedangkan pakaian yang lebih trendi dengan harga jual yang relatif lebih mahal bisa diproduksi di Eropa atau Amerika Selatan. Mode pakaian yang baru saja dirilis oleh rumah-rumah mode terkenal pada acara Fashion Week setiap musim semi dan musim gugur, atau yang dipakai oleh para selebriti, dijiplak tanpa harus mengeluarkan biaya mahal untuk membayar desainer, diproduksi dengan cepat, kemudian segera dipasarkan di gerai-gerai yang mereka miliki. Proses bisnis seperti inilah yang membuat fast fashion memungkinkan konsumen untuk membeli pakaian trendi dengan harga terjangkau. 

Dilihat dari perspektif penjual dan produsen, fast fashion sangat menguntungkan, karena kemunculan produk baru secara konstan mendorong konsumen untuk lebih sering berkunjung ke toko dan membelinya. Ketika kecepatan pergerakan trend mode juga direspon dengan cepat oleh konsumen, penjual dan produsen akan terhindar dari risiko turunnya harga produk akibat barangnya tidak laku dan harus menumpuk di gudang, yang berpotensi memotong margin keuntungan mereka.

Untuk itu, penjual harus secepat mungkin mengganti barangnya dengan yang baru, dengan cara menggoda konsumen dan meyakinkan bahwa barang-barang yang sudah mereka miliki tidak lagi modis. Pusat perbelanjaan, majalah mode, katalog, media sosial, dan toko-toko online yang setiap hari menawarkan koleksi fashion terbaru, semakin membuat konsumen terpacu untuk membeli barang yang mereka suka ketika mereka melihatnya, karena kemungkinan tidak akan tersedia dalam waktu lama.

Sayangnya, keuntungan besar ini membawa konsekuensi negatif terhadap lingkungan. Warna-warna cerah, motif, dan tekstur kain merupakan fitur yang menarik dalam industri fashion, tetapi banyak di antaranya diperoleh dari bahan kimia beracun. Pencelupan tekstil adalah pencemar air bersih terbesar kedua secara global setelah pertanian. 

Penggunaan kain berbahan dasar petrokimia yang murah dan mudah diproduksi seperti polyester dan akrilik sangat merusak lingkungan. Polyester adalah kain paling populer yang digunakan dalam industri fashion; tetapi ketika dicuci dengan mesin cuci rumahan, polyester melepaskan mikrofiber yang menambah jumlah limbah plastik di laut. Mikrofiber ini dapat melewati instalasi pengolahan air limbah dengan mudah dan cepat, kemudian masuk kembali ke saluran air. Mikrofiber tidak bisa terurai secara alami, sehingga merupakan ancaman serius bagi kehidupan organisme di perairan. Makhluk kecil seperti plankton memakan mikrofiber, yang dalam rantai makanan berikutnya dimakan oleh ikan dan kerang yang kemudian dimakan oleh manusia.

Penggunaan kain katun yang terbuat dari kapas juga tak kalah merusaknya. Untuk memenuhi kebutuhan pasar yang terus meningkat, sebagian besar petani kapas di seluruh dunia menanam benih kapas GMO yang tahan terhadap hama bollworm, sehingga hasilnya lebih banyak dan mengurangi biaya untuk membeli pestisida. Tetapi hal ini juga dapat menyebabkan masalah lebih lanjut, seperti munculnya 'superweeds' atau gulma super yang tahan terhadap herbisida standar. Gulma ini seringkali harus dibasmi dengan herbisida beracun yang berbahaya bagi binatang dan manusia.

Fast fashion juga mendorong munculnya 'throwaway clothes culture', yakni perilaku cepat-cepat membuang pakaian lama untuk diganti dengan yang baru. Konsumen tidak merasa sayang untuk membuang yang lama dan segera membeli yang baru karena merasa harus mengikuti trend mode agar tidak dianggap ketinggalan jaman; lagipula, kenapa harus mempertahankan baju yang lama, kalau baju baru bisa dibeli dengan harga murah?

Survey yang dilakukan oleh McKinsey menyebutkan: antara tahun 2000 dan 2014, produksi pakaian global meningkat dua kali lipat, sedangkan jangka waktu penyimpanan pakaian oleh konsumen semakin singkat. Pada tahun 2010, di Amerika Serikat saja, 11 juta ton limbah pakaian dibuang ke tempat pembuangan akhir. Di Australia, setiap orang membeli 27 kilogram pakaian per tahun, dan 23 kilogram di antaranya berakhir di tempat sampah. Hal ini tentu saja berkontribusi besar terhadap pemanasan global karena kain yang membusuk melepaskan gas metana ke udara.

Masih ada lagi satu dampak lingkungan yang disebabkan oleh menggilanya trend fast fashion, yakni: emisi karbon yang dihasilkan dari sektor transportasi juga meningkat secara signifikan. Pemilik industri fashion cenderung untuk membuka pabriknya di negara berkembang dengan upah buruh yang rendah (seperti Vietnam, Filipina, Pakistan, juga Indonesia). Ketika negara tersebut tidak memiliki bahan mentah yang dibutuhkan, bahan harus didatangkan dari negara-negara lain seperti China, AS, dan India. 

Setelah jadi, pakaian dikirim ke seluruh penjuru dunia dengan kapal, dan kemudian dikirim ke pengecer dengan kereta api dan truk. Meskipun tidak ada data yang menunjukkan perbandingan antara perjalanan kapal kargo yang digunakan untuk mengirim pakaian dengan perjalanan kapal kargo secara keseluruhan, tetapi perlu kita ketahui bahwa selama satu tahun, satu kapal saja mampu memproduksi polutan penyebab kanker dan asma sebanyak yang dihasilkan oleh 50 juta mobil.

Dengan timbunan fakta mengerikan di atas, masihkah Anda berniat mengunjungi mall terdekat sekedar untuk memuaskan hasrat sesaat Anda berbelanja pakaian lagi?

---

Referensi:

  1. Fast Fashion (Investopedia)
  2. What Is Fast Fashion? (LEAFtv)
  3. Scary Fast Fashion Facts (Soul Flower)
  4. Water pollution, toxic chemical use and textile waste: fast fashion comes at a huge cost to the environment (The Independent)
  5. Fast Fashion is Creating an Environmental Crisis (Newsweek)
  6. Landfill becomes the latest fashion victim in Australia's throwaway clothes culture (The Guardian)
  7. Fast fashion is downing the world and sending 26 Billion Pounds of Reusable Textiles to the Landfill Every Year (Trusted Clothes)
  8. Greenpeace warns against the waste of fast fashion, advocates "true materialism" (Quartz)
  9. It's the Second Dirtiest Thing in the World—And You’re Wearing It (Alternet)
  10. How fast fashion is killing the earth and our taste in clothes (Eco-Business)

Sumber gambar lain: Tamtex, Govbanknotes, Maatee, Graphic River, & Natracare

Comments (1)

  1. James Benson

A huge thumbs up for the great information you have here in this post. I'll get back to your blog much sooner. Wikipedia Writers for hire

  Attachments
 
There are no comments posted here yet

Leave your comments

Posting comment as a guest.
Attachments (0 / 3)
Share Your Location