Mikroplastik dalam Makanan Kita

Mikroplastik dalam Makanan Kita

Berkembangnya isu tentang mikroplastik di lautan telah menyebabkan kekhawatiran tentang kemungkinan bahwa mereka akan memasuki perut kita melalui rantai makanan. 

Pada tulisan sebelumnya di BICNETS mengenai limbah plastik di lautan, telah dipaparkan bahwa plastik yang berukuran besar secara terus-menerus terpecah menjadi potongan-potongan yang makin lama makin kecil ukurannya, akibat panas, sinar ultraviolet, oksidasi, benturan atau gesekan, atau karena diuraikan oleh bakteri.

Proses ini mengubah limbah plastik menjadi mikroplastik, yakni kepingan plastik mulai dari yang berukuran miskroskopis hingga sebesar butiran beras (plastik yang dikategorikan sebagai mikroplastik adalah yang ukurannya maksimal 0,5 mm). Ketika organisme laut yang berukuran kecil memakan mikroplastik, melalui rantai makanan, racun yang mereka telan akan ditelan pula oleh binatang pemangsa mereka, dan bisa jadi akan sampai pula ke piring manusia yang mengkonsumsi ikan atau seafood.

Tetapi ketika para peneliti di Universitas Heriot-Watt menyelidikinya, mereka menemukan bahwa mikroplastik yang ada di rumah justru merupakan ancaman yang jauh lebih besar bagi manusia. Hasil penelitian yang diterbitkan 29 Maret2018 lalu  di jurnal Environmental Pollution ini menemukan bahwa manusia kemungkinan mengkonsumsi sekitar 114 serat plastik setiap kali makan yang berasal dari debu rumah yang menempel di piring mereka.

Dalam penelitian ini, para peneliti membandingkan antara jumlah mikroplastik yang ditemukan dalam kerang dengan serat plastik yang ditemukan dalam makanan di rumah-rumah pada umumnya. Mereka mengumpulkan kerang dari sekitar pantai Skotlandia untuk menilai berapa banyak mikroplastik yang mungkin dikonsumsi manusia dengan memakan kerang tersebut; dan sebagai kontrol, mereka juga meletakkan cawan Petri yang diisi dengan perangkap debu di samping piring makan di tiga buah rumah yang terpisah.

Hasilnya, setiap jangka waktu 20 menit (setara dengan waktu yang digunakan untuk sekali makan) mereka menemukan hingga 114 serat plastik pada perangkap debu. Jika dikalkulasi maka setiap tahun jumlahnya akan menjadi 13.731 hingga 68.415 serat per tahun. Sebaliknya, di setiap kerang rata-rata hanya ditemukan kurang dari dua partikel plastik, sehingga makan kerang hanya akan membuat manusia menelan 100 mikroplastik setiap tahun.

"Hasil penelitian ini mungkin mengejutkan bagi beberapa orang yang berpikir bahwa mikroplastik dalam makanan laut lebih tinggi daripada yang ada pada debu rumah tangga," kata peneliti senior Dr. Ted Henry. Para peneliti tidak merinci asal serat plastik tersebut, apakah berasal dari makanan rumahan yang digunakan dalam penelitian atau dari dapur tempat makanan tersebut dimasak. "Kami tidak tahu dari mana serat ini berasal, tetapi kemungkinan asalnya dari dalam rumah dan dari lingkungan yang lebih luas," kata Henry.

Sementara itu, Julian Kirby dari Friends of the Earth menambahkan informasi mengenai bagaimana partikel plastik bisa berubah menjadi debu: "Serat plastik yang ditemukan dalam debu di rumah kita dan udara yang kita hirup dapat berasal dari ban mobil, karpet dan perabotan rumah yang halus, serta pakaian seperti jaket berbulu. Benda-benda ini secara terus-menerus melepaskan potongan-potongan kecil serat plastik ke lingkungan karena mereka semakin menipis dari waktu ke waktu akibat pemakaian," katanya.

Henry mengatakan, mikroplastik tidak secara otomatis berarti beracun; masih ada ancaman yang lebih besar dari pencemar laut lainnya, yaitu merkuri. Namun Henry juga menduga bahwa mikroplastik dapat bertindak sebagai pembawa zat beracun lainnya, seperti DDT atau hexachlorobenzene yang menempel pada plastik dan dapat terakumulasi di dalam tubuh dalam konsentrasi yang lebih tinggi daripada yang seharusnya.

Menurut sebuah penelitian yang diterbitkan di Lancet Planetary Health pada bulan Oktober 2017, munculnya kekhawatiran tentang mikroplastik yang memasuki rantai makanan antara lain disebabkan karena dampaknya terhadap kesehatan manusia masih belum diketahui secara pasti. Namun demikian, seandainya mikroplastik yang ada di laut ternyata bukan sumber utama dari racun yang dikonsumsi manusia, keberadaannya tetap menjadi masalah bagi kehidupan biota laut.

Kembali merujuk pada tulisan yang dimuat di BICNETS 9 Juni 2018 kemarin, limbah plastik dan sampah lainnya di laut menghalangi plankton dan alga mendapatkan sinar matahari. Tanpa itu, plankton dan alga akan mati karena tidak dapat melakukan fotosintesa. Hal ini akan mempengaruhi rantai makanan di laut, sehingga binatang di laut pun banyak yang mati karena kekurangan makanan. 

Semakin sedikitnya plankton juga berpotensi membuat binatang laut memakan mikroplastik. Ada yang memakannya karena ukuran miroplastik sedemikian kecil hingga lolos melewati filter makanan mereka, ada pula yang memakannya karena mengira mikroplastik tersebut adalah makanan. Dari semua binatang laut, ada beberapa spesies tertentu yang 33%-nya memakan mikroplastik. Mereka yang memakan plastik berpotensi mengalami sumbatan dalam saluran pencernaan, kerusakan organ dalam tubuh, dan kelaparan (ketika perutnya penuh terisi plastik).

(Burung laut yang ditemukan mati di Midway Atoll, Hawaii, dengan perut penuh berisi sampah plastik)

Memakan plastik juga akan membuat binatang laut terpapar dengan bahan beracun yang berbahaya, seperti: polutan yang menempel di air laut, dan BPA yang terkandung pada plastik (yang dapat menimbulkan berbagai gangguan kesehatan serius). 

"Ada kesenjangan dalam pengetahuan para ilmuwan yang perlu diisi, terutama dalam kaitannya dengan kecenderungan partikel-partikel plastik untuk terakumulasi dalam jumlah besar dalam jangka waktu lama, dan potensinya dalam mempengaruhi ekosistem," tulis Henry. Jika masalah limbah plastik ini terus terjadi tanpa penanganan yang serius, bukan mustahil jika berbagai spesies binatang laut akan mengalami kepunahan dalam berapa dekade ke depan. Hal ini tentu saja merupakan ancaman serius bagi keseimbangan ekosistem di bumi.

---

(dirangkum dari: Treehugger, Science Direct, EcoWatch, Newsweek, dan news.com.au | sumber gambar lain: The AtlanticPixabay & ReuseThisBag)

Catatan Redaksi:

Tanggal 5 Juni ditetapkan oleh PBB sebagai Hari Lingkungan Hidup Sedunia sejak tahun 1974, dan tema tahun ini adalah "Melawan Limbah Plastik". Dalam pesannya, Sekjen PBB António Guterres menegaskan agar kita semua menolak penggunaan barang-barang plastik sekali pakai, dan mengingatkan tentang jumlah limbah plastik yang semakin tidak terkendali. "Setiap tahun, lebih dari delapan juta ton limbah plastik berakhir di lautan," demikian pesannya.

Dalam rangka Hari Lingkungan Hidup Sedunia, mulai 5 Juni 2018, BICNETS akan menampilkan 8 tulisan bertema lingkungan. Enam di antaranya bertema plastik, dan 2 lainnya menampilkan tema lingkungan lainnya.

Comments (0)

There are no comments posted here yet

Leave your comments

Posting comment as a guest.
Attachments (0 / 3)
Share Your Location